17.32
america, arung jeram, asahan, australia, citarik, england, France, germany, indonesia, lahat, musi, Netherland, new zealand, probolinggo, rafting, sumsel
Menari di Air Manna
Menembus Jeram Perawan Lahat
Mirip - Bisa disimpulkan, karakteristik jeram Air Manna hampir mirip
Sungai Asahan di Sumatera Utara. Arusnya cenderung agresif dan liar. Di
musim hujan, bentukan sungainya bisa menciptakan rangkaian standing waves
panjang dan saling terhubung (atas).
Kembali ke alam, apa pun
bentuknya, selalu menjadi momen paling menyenangkan. Alasan itu juga
yang memacu saya untuk melawat ke Desa Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat -
Sumatera Selatan ini. Selama dua hari, saya dan beberapa rafters
(pengarung jeram) coba menjajal ketangguhan jeram-jeram Sungai Air Manna
yang bercokol di kelebatan rimba. Seperti wilayah pinggiran Sumatera
lainnya, empat jam perjalanan Lahat - Tanjung Sakti itu penuh kelokan
tajam. Sesekali, terlihat jurang menganga. Tapi di lain waktu, tampak
kuning padi meliuk-liuk di antara nuansa hijau belantara raya dan
hamparan perkebunan kopi yang lama-kelamaan semakin mendominasi
pemandangan.
Setibanya di Tanjung Sakti, kami langsung bersua
dengan Erwin Gumay, penggiat alam bebas dari Lahat. Kedatangan kami juga
disambut senyum ramah penduduk setempat yang menyongsong di muka dusun.
Bahkan, Drs. Lukman Panggarbesi, camat desa itu berada di antara
mereka. Uniknya, ia sendiri pun rela bergabung dan siap memandu kami
melakukan survei jeram siang hari itu juga. Sebagai aktivitas
pra-pengarungan, kegiatan pertama itu hanya berkutat pada penelusuran
data-data sungai. Mulai dari pencarian entry point, menandai bentukan
dan tingkat kesulitan jeramnya, hingga ke soal penentuan jalur bagi tim
darat yang akan mengiringi selama pengarungan.
Tentu, bukan
perkara enteng melakukan hal itu. Memburu entry point yang mudah kami
jangkau dari tepi jalan setapak penduduk, misalnya. Terpaksa golok dan
parang dikeluarkan demi menerabas kepungan hutan perawan nan lebat
ini.Herannya, sepanjang menyi-sir lembah penuh onak duri, tak tampak
satu pun bekas tebangan liar. Yang pasti, sejauh pengamatan mata dan
atas informasi penduduk setempat yang saya peroleh, hutan yang mengepung
sungai ini masih sangat alami dan terjaga keasliannya. Dan tampaknya,
baik penebang maupun para cukong kayu dari kota-kota besar masih "silap
mata" dengan kelestarian itu.
Terbukti, selama puluhan tahun,
hujan lebat tak pernah menjadikan penduduk wilayah ini kerepotan dengan
musibah banjir dan longsor. Bagi peminat arung jeram, tentu saja
menguntungkan, sebab debit air sungai yang berhulu di Gunung Dempo
(3.159 mdpl) ini tak pernah surut, kendati di musim kemarau seperti
sekarang.
Hari Pertama
Sehari usai pendataan, ihwal
kehebatan Air Manna total terbukti. Di hari pertama, kami membagi dua
etape pengarungan. Etape pertama bermula dari dusun Sindang Panjang
(desa Tanjung Sakti) hingga dusun Gunung Kerto. Etape selanjutnya
berlangsung di antara jeram-jeram dusun Gunung Kerto dan berakhir di
dusun Simpur. Total 19 kilometer yang akan ditempuh hari ini.
Bara semangat kepalang berkobar di dada, pantang untuk mundur. Apalagi,
saya, Dompi, Jack, Erwin Gumay dan rekannya, Andi, sudah bersiap dalam
posisi mendayung. Maka, selepas doa bersama, dayung pun dikayuh.
"Majuu...!" aba-aba Jack. Belum jauh jarak perahu dari tepi sungai.
Mendadak, kesialan menimpa. Saat perahu melabrak jeram pertama, benda
karet itu berguncang hebat. Sialnya, pijakan kaki saya kurang mantap,
alhasil, tubuh saya limbung seketika dan terlempar dari perahu.
Untunglah, di antara derasnya gelombang standing waves (jeram berbentuk
ombak berdiri) tersebut, Andi masih bisa meraih tangan saya. Sigap.
Tapi selanjutnya, malah gantian dia yang bernasib serupa. Kendati
selamat, pemuda kelahiran Lahat ini sempat dua kali timbul tenggelam
dipermainkan buih-buih jeram. Sampai menjelang akhir etape satu, kami
belum merasakan rintangan yang berarti. Kecuali satu buah jeram besar
berbentuk penurunan (drop) setinggi satu meter. Sesuai aba-aba Jack,
perahu masuk perlahan ke mulut jeram itu. Tepat, begitu mulut jeramnya
habis, kayuhan semakin diperkuat untuk menghindari hisapan arusnya ke
tebing. Perahu lolos.
Pengarungan terasa makin seru, saat
memasuki dusun Gunung Kerto. Aliran Air Manna menyatu dengan Air Suka
Merindu. Akibatnya debit air menjadi lebih tinggi. Ini terbukti dengan
standing wave yang dari jauh terlihat biasa saja, ternyata malah
sebaliknya. Besar dan menyeramkan, membuat bentuk perahu seolah
mengecil.
Selepas jeram itu, perahu menepi untuk rihat. Puas
menjerang rihat, pengarungan kembali berlanjut. "Siapkan konsentrasi
penuh, kita tak tahu ada apa di depan," komando Jack, seraya mulai
mendayung. Betul saja. Satu lidah riam menyambut, berbuih dan sangat
menantang. Terbentuk dari dua buah jeram hydraulic (terbentuk karena
aliran vertikal). Demi memperoleh siasat untuk melaluinya dengan
gemilang, kami melakukan scouting (pengintaian jeram) di tepi sungai
berbatu. "Kita ambil jalur kanan. Usahakan jangan sampai ada yang
jatuh," tukas skipper (juru kemudi) kami itu, lantang.
Kiranya,
inilah saat paling tepat membentrokkan nyali dan rasa takut yang
porsinya sudah tak jauh berbeda. Maka, perlahan dayung dikayuh, seiring
aba-aba Jack mengarahkan perahu masuk ke dalam amukan jeram itu. Dalam
hitungan detik, saya sulit mengingat apa-apa lagi. Yang ada, hanya
berkonsentrasi penuh mendengar arahan skipper, sambil mendayung cepat
laksana kemasukan setan.
Mendebarkan, memang. Apalagi, saat
saya mengetahui, perahu kami gagal menghindari jalur kanan yang pertama.
Karena perahu miring 45 derajat, Dompi dan Andi terlempar ke luar.
Nyaris, Jack pun ikut terlempar dan dilalap air. Tapi dengan kesigapan
tinggi ia bisa menghindarinya. Di tengah situasi kacau balau, Erwin yang
duduk di sebelah saya terjerembab ke bagian dalam perahu. Tak ayal,
posisi perahu menjadi kurang seimbang, bisa terbalik. Terpaksa, agar itu
tidak terjadi, saya mengimbangi berat perahu dengan berpindah posisi ke
bagian kanan.
Hari Kedua
Memasuki hari kedua, tingkat
kesulitan sedikit berkurang. Kendati begitu, pengarungan di sepanjang
rute Dusun Simpur hingga desa Pulau Timun itu tetap berjalan seru dan
menegangkan.
Kebanyakan jeram di 10 kilometer rute tersebut hanya
berkisar pada standing waves. Kami pun banyak berjumpa patahan sungai
yang tingginya bisa melebihi satu setengah meter atau lebih. Hanya Jeram
Lubuk Sibayang, sebuah jeram yang sempat membuat otak kami lama
berputar untuk menentukan jadi atau tidaknya diarungi.
Bentuk
Lubuk Sibayang berupa patahan setinggi 1,5 meter. Tepat di depannya,
sebuah batu besar sudah siap menghadang laju perahu. Jika stag di situ,
risikonya bisa terbalik, Maka, bersiaplah diempas rangkaian standing
waves yang jaraknya pun tak berjauhan dengan patahan tersebut. Nasib
baik, lagi-lagi, masih berpihak pada tim perahu. Perlahan dan penuh
kewaspadaan mereka menyongsong lidah jeramnya. Dan, begitu melewati
patahan itu, mereka lantas mendayung kuat, sehingga benda karet itu tak
sampai tertahan di batu.
Menjelang petang, tim tiba perahu di
lokasi finish dusun Pulau Timun. Saya, Armen, dan Ican yang menjadi tim
darat, tercengang menyaksikan kerumunan penduduk. Tampaknya, mereka tak
sabar lagi ingin menyaksikan "pemandangan" tak lazim di dusun mereka
yang terpencil itu.
Malamnya, dalam suasana keluarga desa nan damai
di pelukan rimba belantara, kami menghabiskan waktu. Bercengkerama ihwal
ketegangan-ketegangan yang kami alami selama dua hari ini. (m. latief)
Copyright © Sinar Harapan 2003
WOW... menyenangkan , test adrenalin...
BalasHapuspak Sutan PL, kami sudah siapkan semua bila Bpk dan rombongan hendak rafting di sungai Manna atau kami juga menyiapkan untuk rafting di sungai Selangis dan sungai Lematang
BalasHapuskeren www.lahatrafting.com
BalasHapus