
Petualangan untuk menguak warisan
leluhur tak lengkang oleh zaman dan tak kenal waktu, kapanpun dan dimanapun.
Puasa Ramadhan baru berjalan beberapa hari, di siang hari terang bendera di
musim kemarau yang panjang, rerumputan, dedaunan dan pepohonan kering kerontang
mengharapkan hujan tiba. Walau udara panas menyengat tubuh namun gairah untuk
menguak perjalanan waktu tak tergoyahkan. Sepeda motor kupacu menuju sasarannya
ke arah ulu Kota Lahat. Jalan yang berkelok dan sedikit bergelombang dengan
pepohonan kopi sedikit menambah sejuknya pemandangan selain sungai Lematang
dengan airnya yang jernih. Ingin rasanya terjun dan bercengkrama dengan air Lematang.
Sungai Lematang tak akan luput dari ingatanku, masa
kecilku kuhabiskan setiap hari di sungai terbesar di Kabupaten Lahat yang
melintasi kota Lahat. Setiap hari selepas pulang sekolah, aku bersama
kawan-kawan masa kecil pergi ke sungai Lematang. Kami berenang dan bercanda ria
sampai menjelang magrib. Kadang kala hal ini membuat orang tuaku sedikit
khawatir. Untuk mengurangi kekhawatiran orang tuaku, aku ambil sedikit minyak
sayur dan aku oleskan pada bagian tangan dan kaki agar tidak terlihat seperti
baru saja berenang di sungai. Sungai Lematang dan anak-anak sungai lainnya sejak
ribuan tahun silam telah menjadi sumber
kehidupan nenek moyang suku bangsa Pasemah. Dari sungai-sungai ini mereka
mengisi kehidupan mereka dengan hasil karya seni adi luhung dan monumental
tiada tara.
Setelah melintasi jembatan Pulau
Pinang dengan panjang sekitar 100 m diatas sungai Lematang dan berbelok ke arah
kanan di desa Tanjung Mulak maka, aku harus memacu kendaraanku menaiki tanjakan
yang berliku. Jalanan berkelok dan mendaki dengan tebing terjal disebelah kiri
dan jurang nan curam disebelah kanan dimana mengalir sungai Lematang dengan
airnya nan jernih dan sedikit beriak putih karena berbentur bebatuan. Tikungan
dan tanjakan ini disebut Tanjakan Terkul. Pada bagian atas tanjakan ini
disebelah kiri jalan terdapat mata air yang tak pernah habis airnya walau di
musim kemarau. Maka tidak mengherankan banyak warga yang memanfaatkan mata air
ini untuk segala keperluan rumah tangga.
Di ujung Tanjakan Terkul jalanan
mulai datar dan sedikit berkelok dan naik turun di desa Lekung Daun. Mungkin
karena jalan yang sedikit berkelok dan naik turun di derah ini maka desa ini disebut
Desa Lekung Daun. Jalan yang seperti daun yang melengkung. Kemudian jalan
berikutnya mulai datar lagi. Cuaca panas di siang hari di musim kemarau
sehingga terlihat jelas pepohonan kering begitu juga dengan rerumputan di
sepanjang jalan bahkan beberapa titik tepi jalan masih terlihat bekas terbakarnya
semak belukar.
Setiba di simpang pertigaan Kota
Agung kami belok kiri ke arah Semendo seperti
yang ditulis oleh Van der Hoop tahun 1932 pada bukunya berjudul “Megalithic
Remains in South Sumatera”. Dari buku inilah kami berupaya untuk menemukan
kembali peninggalan megalitik yang ada di Desa Air Dingin kecamatan Tanjung
Tebat.
Setelah sampai di desa kami bertanya
kepada kepala desa namum belum mendapat kejelasan lalu bu kades yang ikut
nimbrung berkata” ada tinggalan batu megalitik yang disebut Batu Tigas” sambil
tangan bu kades menunjuk sebuah rumah
diseberang jalan. Kami segera menuju rumah yang dimaksud, akan tetapi pada
rumah yang dimaksud bu kades tidak terdapat orang dan akhirnya kami bertanya
pada warga lainnya. Alhasil kami diantar 3 orang anak-anak ketempat yang
dimaksud. Setelah melakukan perjalanan selama 20 menit menyusuri kebun kopi dan
karet sampailah kami pada seonggok batu yang diselimuti rimbunya semak belukar.
Seorang kawan segera membersihkan semak belukar
dengan sebilah parang. Setelah semak belukar terbebas dari batu, kamipun
mengeluarkan beberapa argumentasi tentang batu yang baru saja kami lihat. Awalnya
kami mempunyai argumentasi yang berbeda tentang bentuk batu yang berada di
depan kami. Pada akhirnya kami sepakat bahwa batu ini merupakan figure seorang
manusia dengan kepala yang telah hilang tetapi masih terlihat punggung, lengan
kanan, lengan kiri, dan tangan kiri. Sedang pada bagian depan adalah seekor
kepala kerbau. Kami masih berusaha mengungkap kemungkinan terdapat temuan lainnya.
Dan tepat 2 meter dari arca terdapat batu datar.
Mentari semakin turun ke barat dan kamipun bergegas
kembali ke desa dengan kegembiraan nan tak terkira. Sesampainya di desa kami
bertanya dengan beberapa penduduk tentang batu megalitik yang mereka sebut Batu
Tigas. Mereka katakan bahwa kepala arca telah lama hilang, mungkin tahun 40an
dan mereka tidak tahu dibawa kemana kepala arca manusia Air Dingin tersebut.
Dan juga tidak banyak warga setempat bahkan masyarakat Lahat yang tahu
keberadaan batu megalitik yang merupakan peninggalan prasejarah dan mempunyai nilai
seni sangat tinggi. Bahkan selama ini belum sama sekali mendapat perhatian dari
pihak-pihak yang berwenang dan tidak mustahil bila arca ini terkubur oleh
rimbunnya semak belukar tanpa adanya perawatan atau upaya pelestarian. Padahal
keberadaan arca ini telah diketahui sejak tahun 1932.
0 komentar:
Posting Komentar