Kamis, 17 Januari 2013

Menguak Catatan 1932


Petualangan untuk menguak warisan leluhur tak lengkang oleh zaman dan tak kenal waktu, kapanpun dan dimanapun. Puasa Ramadhan baru berjalan beberapa hari, di siang hari terang bendera di musim kemarau yang panjang, rerumputan, dedaunan dan pepohonan kering kerontang mengharapkan hujan tiba. Walau udara panas menyengat tubuh namun gairah untuk menguak perjalanan waktu tak tergoyahkan. Sepeda motor kupacu menuju sasarannya ke arah ulu Kota Lahat. Jalan yang berkelok dan sedikit bergelombang dengan pepohonan kopi sedikit menambah sejuknya pemandangan selain sungai Lematang dengan airnya yang jernih. Ingin rasanya terjun dan bercengkrama dengan  air Lematang.
Sungai Lematang tak akan luput dari ingatanku, masa kecilku kuhabiskan setiap hari di sungai terbesar di Kabupaten Lahat yang melintasi kota Lahat. Setiap hari selepas pulang sekolah, aku bersama kawan-kawan masa kecil pergi ke sungai Lematang. Kami berenang dan bercanda ria sampai menjelang magrib. Kadang kala hal ini membuat orang tuaku sedikit khawatir. Untuk mengurangi kekhawatiran orang tuaku, aku ambil sedikit minyak sayur dan aku oleskan pada bagian tangan dan kaki agar tidak terlihat seperti baru saja berenang di sungai. Sungai Lematang dan anak-anak sungai lainnya sejak ribuan tahun silam telah menjadi  sumber kehidupan nenek moyang suku bangsa Pasemah. Dari sungai-sungai ini mereka mengisi kehidupan mereka dengan hasil karya seni adi luhung dan monumental tiada tara.
Setelah melintasi jembatan Pulau Pinang dengan panjang sekitar 100 m diatas sungai Lematang dan berbelok ke arah kanan di desa Tanjung Mulak maka, aku harus memacu kendaraanku menaiki tanjakan yang berliku. Jalanan berkelok dan mendaki dengan tebing terjal disebelah kiri dan jurang nan curam disebelah kanan dimana mengalir sungai Lematang dengan airnya nan jernih dan sedikit beriak putih karena berbentur bebatuan. Tikungan dan tanjakan ini disebut Tanjakan Terkul. Pada bagian atas tanjakan ini disebelah kiri jalan terdapat mata air yang tak pernah habis airnya walau di musim kemarau. Maka tidak mengherankan banyak warga yang memanfaatkan mata air ini untuk segala keperluan rumah tangga.
Di ujung Tanjakan Terkul jalanan mulai datar dan sedikit berkelok dan naik turun di desa Lekung Daun. Mungkin karena jalan yang sedikit berkelok dan naik turun di derah ini maka desa ini disebut Desa Lekung Daun. Jalan yang seperti daun yang melengkung. Kemudian jalan berikutnya mulai datar lagi. Cuaca panas di siang hari di musim kemarau sehingga terlihat jelas pepohonan kering begitu juga dengan rerumputan di sepanjang jalan bahkan beberapa titik tepi jalan masih terlihat bekas terbakarnya semak belukar.
Setiba di simpang pertigaan Kota Agung kami  belok kiri ke arah Semendo seperti yang ditulis oleh Van der Hoop tahun 1932 pada bukunya berjudul “Megalithic Remains in South Sumatera”. Dari buku inilah kami berupaya untuk menemukan kembali peninggalan megalitik yang ada di Desa Air Dingin kecamatan Tanjung Tebat.
Setelah sampai di desa kami bertanya kepada kepala desa namum belum mendapat kejelasan lalu bu kades yang ikut nimbrung berkata” ada tinggalan batu megalitik yang disebut Batu Tigas” sambil tangan  bu kades menunjuk sebuah rumah diseberang jalan. Kami segera menuju rumah yang dimaksud, akan tetapi pada rumah yang dimaksud bu kades tidak terdapat orang dan akhirnya kami bertanya pada warga lainnya. Alhasil kami diantar 3 orang anak-anak ketempat yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan selama 20 menit menyusuri kebun kopi dan karet sampailah kami pada seonggok batu yang diselimuti rimbunya semak belukar. Seorang kawan segera membersihkan semak belukar  dengan sebilah parang. Setelah semak belukar terbebas dari batu, kamipun mengeluarkan beberapa argumentasi tentang batu yang baru saja kami lihat. Awalnya kami mempunyai argumentasi yang berbeda tentang bentuk batu yang berada di depan kami. Pada akhirnya kami sepakat bahwa batu ini merupakan figure seorang manusia dengan kepala yang telah hilang tetapi masih terlihat punggung, lengan kanan, lengan kiri, dan tangan kiri. Sedang pada bagian depan adalah seekor kepala kerbau. Kami masih berusaha mengungkap kemungkinan terdapat temuan lainnya. Dan tepat 2 meter dari arca terdapat batu datar.
Mentari semakin turun ke barat dan kamipun bergegas kembali ke desa dengan kegembiraan nan tak terkira. Sesampainya di desa kami bertanya dengan beberapa penduduk tentang batu megalitik yang mereka sebut Batu Tigas. Mereka katakan bahwa kepala arca telah lama hilang, mungkin tahun 40an dan mereka tidak tahu dibawa kemana kepala arca manusia Air Dingin tersebut. Dan juga tidak banyak warga setempat bahkan masyarakat Lahat yang tahu keberadaan batu megalitik yang merupakan peninggalan prasejarah dan mempunyai nilai seni sangat tinggi. Bahkan selama ini belum sama sekali mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berwenang dan tidak mustahil bila arca ini terkubur oleh rimbunnya semak belukar tanpa adanya perawatan atau upaya pelestarian. Padahal keberadaan arca ini telah diketahui sejak tahun 1932.

Dengan telah ditemukannya kembali arca manusia Air Dingin maka akan menambah khasanah peninggalan megalitik di daerah Pasemah khususnya Kabupaten Lahat. Dan semakin menguatkan slogan yang selama ini didengungkan oleh Lembaga Kebudayaan dan Pariisata “Panoramic of Lahat” bahwa Lahat merupakan “Bumi Seribu Megalitik”, Bumi yang memiliki peninggalan megalitik terbanyak dan terbaik se Indonesia bahkan seluruh dunia. Semoga dengan temuan ini semua pihak bersama-sama bersatu padu untuk melestarikan peninggalan nenek moyang yang mempunyai nilai budaya sangat tinggi yang tidak ditemukan di banyak tempat dimanapun. Juga dapat dikembangkan menjadi obyek wisata budaya yang akan berdampak positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat dan Pemeritah. (By Mario Andramartik, Traveler ke 200 kota wisata dunia).



           

0 komentar:

Posting Komentar