Jumat, 27 Mei 2016

"BATU PUTRI BESAK" Jelajah Negeri Mengenal Budaya


“Nah itu ayek Mulak” demikian kata Hambli sambil menunjuk ke arah sungai yang kelihatan dari pebukitan tempat penulis berhenti sejenak setelah hampir setengah jam menyusuri jalan kebun. Sambil mengelah nafas dan minum segelas air mineral yang penulis bawa, Hambli berkata bahwa kita baru sampai setengah perjalanan ,setelah ini jalan sedikit datar tapi kita nanti akan nanjak lagi baru kemudian kita akan berada di daerah yang datar diketinggian sekitar 400 meter dari permukaan laut.
Hamparan ini merupakan sebuah perkampungan di masa prasejarah yang terletak di atas pebukitan desa Tanjung Sirih Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Konon Desa Tanjung Sirih dan desa  sekitarnya seperti desa Lubuk Sepang, Karang Dalam dan Pulau Pinang merupakan lautan air dan hamparan ini merupakan sebuah pulau bahkan  tak jauh dari sini ini terdapat sebuah batu tempat dimana ditambatkannya perahu atau yang disebut masyarakat sebagai “jung” (saat ini berada di Desa Karang Dalam).
Di hamparan ini  terdapat 4 batu megalit dan 1 lumpang batu yang telah berusia sekitar 4.000 tahun. Batu pertama terletak dipojok perkebunan karet milik Yamal, disini  terngonggoklah sebuah batu besar menyerupai seseorang  sedang memangku seorang anak dan menunggang seekor kerbau. Sosok ini berbadan tambun, hidung pesek dan mengenakan kalung, sedang seorang anak yang dipangkunya memakai pelindung kepala. Batu megalit ini  di sebut masyarakat sebagai Batu Putri Besak.
Sepuluh menit perjalanan dari Batu Putri Besak sampailah di Batu Satria. Disebut Batu Satria karena batu ini menggambarkan  seorang ksatria yang mengenakan sejenis helm dan memakai kalung . Tapi sayang batu ini telah roboh dan bagian muka menghadap/mencium tanah serta bagian paha ke bawah telah tertimbun tanah. Letak batu ini di perkebunan karet dan kopi milik Sarti.
Dari Batu Satria ini Hambli yang merupakan juru pelihara disini membawa penulis dan Kades Tanjung Sirih Markoni  melalui perkebunan kopi dan karet penduduk ke komplek Batu Putri. Disini terdapat sebuah batu berbentuk kursi dan sebuah batu menggambarkan seorang mengendong seseorang dipunggungnya. Batu ini dalam posisi tergeletak di tanah, dikelilingi pohon-pohon karet maka sangat rindang dan sedikit cahaya yang menyentuh batu-batu ini, sehingga sangat cepat ditumbuhi lumut tapi Hambli selalu membersihkan semua batu megalit yang ada di situs ini.
Dengan sangat sabar dan ramah Hambli sambil bercerita membawa penulis dan Kades Markoni ke Batu Macan yang dikelilingi kebun kopi milik Rasmin. Batu Macan ini dalam posisi tergeletak  dan pada bagian ekornya tertimbun tanah. Batu Macan menggambarkan  seekor macan yang sedang menerkam seorang anak kecil.
Keempat batu megalit yang terdapat di situs Tanjung Sirih ini semua menghadap kearah matahari terbit atau menghadap arah Timur. Makna apa yang terkandung disini mungkin ada hubungannya dengan suatu kepercayaan.
Dan batu megalit yang kelima atau terakhir berada di situs Tanjung Sirih adalah sebuah lumpang batu berlubang 4(empat). Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Judi. Letaknya di tepi hutan milik Mardi, berdekatan dengan kebun Hambli sang jupel.  
Walau kelima batu megalit yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk Desa Tanjung Sirih dan terngonggok di antara perkebunan kopi dan karet nan rindang akan tetapi  tetap terjaga dengan sangat baik, tak ada rerumputan dan semak belukar disekitar batu-batu megalith. Penulis sangat terkesan melihat kondisi situs megalit di Tanjung Sirih yang sangat terawat. Hambli selaku juru pelihara situs megalit Desa Tanjung Sirih ini sangat bertangung jawab atas tugas yang diberikan padanya walau beliau hanya pekerja honorer.
Semua batu megalit di situs ini belum ada yang di pagar dan belum ada papan pemberitahuan/petunjuk , jadi masih sangat alami dan terkesan apa adanya. Yang penulis khawatirkan kalau tidak dilakukan tindakan penyelamatan seperti pemagaran dan papan pemberitahuan ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencuri atau merusak peninggalan prasejarah.
Dari catatan buku tamu yang di miliki Hambli juru pelihara atau jupel disini tercatat di tahun 1985 ada 11 orang asing yang berkunjung ke situs Pulau Panggung, di tahun 1986 mencapai 24 orang asing yang datang dari Australia, Jerman, Inggris, Belanda dan Prancis. Pada tahun 1987 ada 24 orang asing juga, namun di tahun  berikutnya  1988,1989,1990,1991 jumlah orang asing yang datang makin berkurang.
Di tahun 2007 hanya ada 3 orang yang berkunjung ke situs ini, tahun 2008 berjumlah 8 orang pengunjung, tahun 2009 hanya ada 7 orang pengunjung semua pengunjung domestic dan di tahun ini hingga bulan April hanya ada 1 orang pengunjung yakni penulis sendiri. ”Di tahun 2010 baru pak Mario bae yang datang ke batu disini “kata Hambli.
Jadi penulis merupakan pengunjung pertama di tahun 2010 ini.”Entahlah ngape setelah tahun 1990an jarang nian jeme kesini apelagi jeme asing” demikian penuturan Hambli dan Kades Markoni. Dan hingga kini sangat jarang wisatawan domestic apalagi wisatan asing yang mengunjungi situs ini. Mungkin salah satu sebab belum adanya upaya dari pihak yang berkompeten untuk memperkenalkan situs Tanjung Sirih minimal pada masyarakat Kabupaten Lahat, belum ada upaya untuk membangun infrastruktur seperti jalan, belum ada upaya pengembangan sebagai destinasi wisata yang pada akhirnya menambah pendapatan masyarakat dan pemerintah, bahkan papan nama yang menerangkan di desa ini ada situs megalitpun tidak ada sama sekali.
Padahal megalit di Kabupaten Lahat selain sebagai megalit terbaik di Indonesia juga  merupakan megalit terbanyak di Indonesia dan telah mendapat rekor MURI pada tahun 2012. Tapi sungguh ironis banyak keberadaan batu megalit tersebut tidak diketahui oleh mayoritas masyarakat Kabupaten Lahat, masyarakat Sumatera Selatan bahkan Indonesia.
Semoga kelak ada upaya dari berbagai pihak untuk mengenalkan Lahat sebagai pusat megalit di Indonesia dan dunia yang tak kalah dengan megalit Stonehenge di Inggris dan Easter Island di Chile.(Mario Andramartik).

0 komentar:

Posting Komentar