“Nah itu ayek Mulak” demikian kata Hambli sambil menunjuk ke arah
sungai yang kelihatan dari pebukitan tempat penulis berhenti sejenak setelah
hampir setengah jam menyusuri jalan kebun. Sambil mengelah nafas dan minum
segelas air mineral yang penulis bawa, Hambli berkata bahwa kita baru sampai
setengah perjalanan ,setelah ini jalan sedikit datar tapi kita nanti akan nanjak
lagi baru kemudian kita akan berada di daerah yang datar diketinggian sekitar
400 meter dari permukaan laut.
Hamparan ini merupakan sebuah
perkampungan di masa prasejarah yang terletak di atas pebukitan desa Tanjung
Sirih Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Konon Desa Tanjung Sirih dan desa
sekitarnya seperti desa Lubuk Sepang,
Karang Dalam dan Pulau Pinang merupakan lautan air dan hamparan ini merupakan
sebuah pulau bahkan tak jauh dari sini
ini terdapat sebuah batu tempat dimana ditambatkannya perahu atau yang disebut
masyarakat sebagai “jung” (saat ini berada di Desa Karang Dalam).
Di hamparan ini terdapat 4 batu megalit dan 1 lumpang batu
yang telah berusia sekitar 4.000 tahun. Batu pertama terletak dipojok
perkebunan karet milik Yamal, disini terngonggoklah sebuah batu besar menyerupai seseorang sedang memangku seorang anak dan menunggang
seekor kerbau. Sosok ini berbadan tambun, hidung pesek dan mengenakan kalung, sedang
seorang anak yang dipangkunya memakai pelindung kepala. Batu megalit ini di sebut masyarakat sebagai Batu Putri Besak.
Sepuluh menit perjalanan dari
Batu Putri Besak sampailah di Batu Satria. Disebut Batu Satria karena batu ini
menggambarkan seorang ksatria yang
mengenakan sejenis helm dan memakai kalung . Tapi sayang batu ini telah roboh
dan bagian muka menghadap/mencium tanah serta bagian paha ke bawah telah tertimbun
tanah. Letak batu ini di perkebunan karet dan kopi milik Sarti.
Dari Batu Satria ini Hambli yang
merupakan juru pelihara disini membawa penulis dan Kades Tanjung Sirih Markoni melalui perkebunan kopi dan karet penduduk ke
komplek Batu Putri. Disini terdapat sebuah batu berbentuk kursi dan sebuah batu
menggambarkan seorang mengendong seseorang dipunggungnya. Batu ini dalam posisi
tergeletak di tanah, dikelilingi pohon-pohon karet maka sangat rindang dan
sedikit cahaya yang menyentuh batu-batu ini, sehingga sangat cepat ditumbuhi
lumut tapi Hambli selalu membersihkan semua batu megalit yang ada di situs ini.
Dengan sangat sabar dan ramah
Hambli sambil bercerita membawa penulis dan Kades Markoni ke Batu Macan yang
dikelilingi kebun kopi milik Rasmin. Batu Macan ini dalam posisi
tergeletak dan pada bagian ekornya
tertimbun tanah. Batu Macan menggambarkan seekor macan yang sedang menerkam seorang anak
kecil.
Keempat batu megalit yang
terdapat di situs Tanjung Sirih ini semua menghadap kearah matahari terbit atau
menghadap arah Timur. Makna apa yang terkandung disini mungkin ada hubungannya
dengan suatu kepercayaan.
Dan batu megalit yang kelima atau
terakhir berada di situs Tanjung Sirih adalah sebuah lumpang batu berlubang
4(empat). Batu ini disebut masyarakat sebagai Batu Judi. Letaknya di tepi hutan
milik Mardi, berdekatan dengan kebun Hambli sang jupel.
Walau kelima batu megalit yang letaknya
cukup jauh dari pemukiman penduduk Desa Tanjung Sirih dan terngonggok di antara
perkebunan kopi dan karet nan rindang akan tetapi tetap terjaga dengan sangat baik, tak ada
rerumputan dan semak belukar disekitar batu-batu megalith. Penulis sangat
terkesan melihat kondisi situs megalit di Tanjung Sirih yang sangat terawat. Hambli
selaku juru pelihara situs megalit Desa Tanjung Sirih ini sangat bertangung
jawab atas tugas yang diberikan padanya walau beliau hanya pekerja honorer.
Semua batu megalit di situs ini
belum ada yang di pagar dan belum ada papan pemberitahuan/petunjuk , jadi masih
sangat alami dan terkesan apa adanya. Yang penulis khawatirkan kalau tidak
dilakukan tindakan penyelamatan seperti pemagaran dan papan pemberitahuan ada
pihak-pihak yang dengan sengaja mencuri atau merusak peninggalan prasejarah.
Dari catatan buku tamu yang di
miliki Hambli juru pelihara atau jupel disini tercatat di tahun 1985 ada 11
orang asing yang berkunjung ke situs Pulau Panggung, di tahun 1986 mencapai 24
orang asing yang datang dari Australia, Jerman, Inggris, Belanda dan Prancis. Pada
tahun 1987 ada 24 orang asing juga, namun di tahun berikutnya
1988,1989,1990,1991 jumlah orang asing yang datang makin berkurang.
Di tahun 2007 hanya ada 3 orang
yang berkunjung ke situs ini, tahun 2008 berjumlah 8 orang pengunjung, tahun
2009 hanya ada 7 orang pengunjung semua pengunjung domestic dan di tahun ini
hingga bulan April hanya ada 1 orang pengunjung yakni penulis sendiri. ”Di
tahun 2010 baru pak Mario bae yang datang ke batu disini “kata Hambli.
Jadi penulis merupakan pengunjung
pertama di tahun 2010 ini.”Entahlah ngape setelah tahun 1990an jarang nian jeme
kesini apelagi jeme asing” demikian penuturan Hambli dan Kades Markoni. Dan
hingga kini sangat jarang wisatawan domestic apalagi wisatan asing yang
mengunjungi situs ini. Mungkin salah satu sebab belum adanya upaya dari pihak
yang berkompeten untuk memperkenalkan situs Tanjung Sirih minimal pada
masyarakat Kabupaten Lahat, belum ada upaya untuk membangun infrastruktur seperti
jalan, belum ada upaya pengembangan sebagai destinasi wisata yang pada akhirnya
menambah pendapatan masyarakat dan pemerintah, bahkan papan nama yang
menerangkan di desa ini ada situs megalitpun tidak ada sama sekali.
Padahal megalit di Kabupaten Lahat selain sebagai megalit terbaik di Indonesia
juga merupakan megalit terbanyak di
Indonesia dan telah mendapat rekor MURI pada tahun 2012. Tapi sungguh ironis
banyak keberadaan batu megalit tersebut tidak diketahui oleh mayoritas
masyarakat Kabupaten Lahat, masyarakat Sumatera Selatan bahkan Indonesia.
Semoga
kelak ada upaya dari berbagai pihak untuk mengenalkan Lahat sebagai pusat megalit
di Indonesia dan dunia yang tak kalah dengan megalit Stonehenge di Inggris dan
Easter Island di Chile.(Mario Andramartik).
0 komentar:
Posting Komentar