Selasa, 07 Desember 2021

LAHAT KOTA PUSAKA (Jelajah Negeri Mengenal Budaya)

Rumah bercorak Indies Style dibangun tahun 1931


Pada saat ini dimana wabah covid 19 masih belum tuntas sehingga banyak kegiatan yang sempat tertunda. Kalaupun mau dilaksanakan harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat atau kegiatan tetap berlangsung secara daring. Setelah mengikuti beberapa kegiatan secara daring tentu cukup membosankan hal hasil tetap ingin mengadakan kegiatan offline dengan mendatangi lokasi secara langsung.

Panoramic of Lahat yang aktif terhadap pelestarian peninggalan cagar budaya yang ada di Kabupaten Lahat bahkan pernah mendapat penghargaan atas komitmen, dedikasi dan jasa dalam upaya pelestarian cagar budaya di wilayah Sumatera Bagian Selatan dari Kemendikbud Republik Indonesia pada perayaan Hari Purbakala ke-105 di Perpustakaan Nasional, Jakarta tahun 2018 terus melakukan sesuatu dalam upaya pelestarian cagar budaya.

Kali ini Ketua Panoramic of Lahat, Mario Andramartik bersama dengan 3 pelajar SMA melakukan touring wisata budaya. Sebagaimana diketahui Kota Lahat menyimpan banyak peninggalan bangunan masa kolonial  dan sebagian besar bangunan tersebut masih berdiri kokoh. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri dan dapat dikemas menjadi destinasi wisata sejarah bahkan Kota Lahat dapat dijadikan Kota Pusaka.

Kegiatan diawali dengan kunjugan ke beberapa perumahan pergudangan bengkel kereta api. Di kawasan ini masa kolonial sekitar tahun 1931 Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen membangun pergudangan kereta api berikut dengan komplek perumahan manager dan karyawannya. Kawasan  pergudangan dan perumahan bengkel kereta api saat ini sudah menjadi satu kelurahan yang bernama Kelurahan RD PJKA Bandar Agung. Di kawasan ini terdapat satu gudang dengan luas lebih dari 1 ha, 7 rumah manager dengan luas bangunan masing-masing sekitar 137 meter persegi, 12 rumah dengan ukuran bangunan 130 meter persegi sepertinya menjadi rumah supervisor di masa itu dan puluhan rumah dengan model kopel sepertinya menjadi rumah karyawan pergudangan bengkel kereta api.

Mario bersama 3 pelajar SMA yaitu Toti dari SMAN 4 Lahat, Mahdi SMAN 6 Palembang dan Nafel Pesantren Daarut Tauhid Bandung dengan mengendarai sebuah mobil melaju ke arah Simpang 4 Kota Lahat dengan menyusuri jalan Letnan Amir Hamzah. Dan pada awalnya Belanda membangun jalan dari arah Muara Enim ke Lahat yang saat ini menjadi jalan RE Martadinata terus lurus ke jalan Letnan Amir Hamzah lalu belok kanan ke Simpang 4 lurus ke arah jalan Prof.Dr.Emil Salim terus ke Tebing Tinggi dan belok kiri ke jalan Letjend Harun Sohar ke arah Pagaralam serta belok kanan ke jalan Mayor Ruslan pusat pertokoan Kota Lahat.

Dari simpang 4 kami masuk ke jalan Letjend Harun Sohar, jalan ini banyak bangunan masa kolonial  seperti Juliana Hospital yang saat ini menjadi RS DKT, Gereja Santa Maria, Rumah Dinas Manager PLN, Lapangan PJKA dan Kantor PM. Di jalan Letjend Harun Sohar saat ini berdiri kokoh barisan pohon mahoni dan merupakan pohon mahoni terbesar yang tumbuh di Kabupaten Lahat bahkan Sumatera Selatan. Dan tentu pohon mahoni dengan diameter lebih dari 1 meter ini ditanam lebih dari 100 tahun yang lalu di masa kolonial.

Dari jalan Letjend Harun Sohar belok ke kanan ke komplek sekolah Santo Yosef disini ada SD Santo Yosef yang dibangun tahun 1936, SMP dan Klinik Santo Yosef dibangun tahun 1938, lalu ada 7 rumah di dekat lapangan PJKA merupakan rumah bergaya Indies yang dibangun masa kolonial dengan kondisinya hingga kini masih bagus dan kokoh. Satu Bangunan dijadikan café yaitu Vizie Café dan 2 bangunan dijadikan wisma untuk penginapan/

Lalu masuk ke jalan Serma Jamis disini ada SD Persit Kartika Candra Kirana, ada 3 ruang kelas dengan arsitektur Indies dengan dinding batu sungai di bagian bawah. Sekolah ini dahulunya adalah Hollandsche Chineesche Shool (HIS) dan menjadi lokasi pertama 4 biarawati dari Belanda mengajar sebelum mendirikan SD Santo Yosef. Kemudian belok ke kanan ke arah SMPN 2 Lahat dan di jalan ini masih berdiri kokoh satu bangunan kayu setengah panggung tepat berada di belakang rumah dinas Asisten Residen/Bupati. Dari sini lalu ke depan kantor Satlantas Polres Lahat yang dahulunya sebagai Kantor KNIL. Tepat di depan kantor Satlantas berdiri monument peringatan atas pertempuran yang terjadi pada tahun 1947 dimana 8 laskar pejuang Lahat gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selanjutnya belok kiri masuk ke jalan Letnan Amir Hamzah tepat di belakang SMAN 1 Lahat, sekarang merupakan bangunan masjid dahulunya rumah Ir.Sukardi yang pernah disinggahi oleh Bung Karno pada kunjungannya tahun 1952 ke Lahat dan Pagaralam. Empat rumah dari rumah Ir.Sukardi ada sebuah rumah beton berdinding putih dengan corak batu sungai berwarna hitam cirikhas Indies style. Rumah putih ini didiami oleh keluarga Bu Jana yang sebelumnya menjadi rumah persinggahan pertama kali 4 biarawati yang langsung datang dari Belanda untuk membangun sekolah Santo Yosef. Empat biarawati dengan menumpang kereta api dari stasiun Panjang di Lampung hingga stasiun Lahat.

Gerbang masuk asrama putri St.Yosef


Terus di jalan Letnan Amir Hamzah, di jalan ini ada beberapa rumah yang sangat bersejarah sejak lahirnya Kota Lahat maupun di masa perang kemerdekaan. Pertama adalah Kantor Asisten Residen Palembangsche Bovenladen yang selanjutnya menjadi Kantor Bupati hinggga tahun 1985 sebelum pindah ke Kantor Bupati yang saat ini berada di Kelurahan Bandar Jaya, akan tetapi sayangnya bangunan ini dirobohkan dan dibangun dengan bangunan baru yang sekarang menjadi Kantor Dinas Perpustakaan Daerah. Tepat di sebelah Kantor Asisten Residen Palembangsche Bovenladen adalah Rumah Dinas Asisten Residen yang kemudian menjadi Rumah Dinas Bupati dan sekarang menjadi rumah mantan Bupati Lahat (disebelah bangunan induk sekarang dibangun restoran bernama Rumah Baghi). Lalu 2 bangunan di sebelahnya dengan bangunan kayu bergaya Indies setengah panggung, satu bangunan menjadi wisma yang dapat disewa dan satunya menjadi resto Coffe & me, juga beberapa bangunan di komplek Zipur yang masih berdiri kokoh. Mayoritas bangunan bergaya Indies di kawasan ini dibangun pada awal terbentuknya pemerintahan Afdeling Palembangsche Bovenladen tahun 1869.

Kunjungan berikutnya di jalan Prof.Dr.Emil Salim, disini dahulunya merupakan pemakaman orang-orang Belanda yang dikenal dengan Kerkhof atau masyarakat Lahat menyebutnya Kuburan Belando. Sekitar tahun 1988 Kuburan Belando di bongkar dan dijadikan terminal kemudian sekarang menjadi komplek pertokoan. Sekitar 100 meter ada Bengkel Balai Yasa berikut Tower Air setinggi 40 meter yang masih berfungsi hingga kini. Komplek Balai Yasa ini yang terdiri dari bengkel, tower air, klinik, perumahan manager dan karyawan selesai dibangun tahun 1931 dan hingga kini semua bangunan tersebut masih berdiri kokoh. Terakhir Mario bersama Toti, Mahdi dan Nafel mengunjungi terowongan kereta api.

Pembangunan jalur kereta api dengan menembus hutan, menyeberangi sungai, membelah dan menembus bukit  dengan cara membuat terowongan. Pembuatan terowongan dinilai lebih baik daripada harus membuat jalur mendaki. Setelah selesainya jalur kereta api segmen Muara Enim–Lahat, yang diresmikan pada tangggal 21 April 1924 maka Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS) melanjutkan pembangunannya sampai ke Lubuklinggau. Hal ini sejalan dengan rencana pembangunan jalur kereta api Trans-Sumatra yang mempersatukan jalur kereta api Sumatra Barat, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara yang telah dibangun. Masterplan ini dibuat untuk menyongsong 50 tahun Staatsspoorwegen berkarya di Hindia Belanda.

Pembangunan jalur ini mempunyai beberapa kendala, salah satunya adalah medan jalur yang berbukit-bukit yang membuat insinyur Belanda menjadi kesulitan dalam menentukan trase yang cocok. Mereka pun menyiasatinya dengan membangun terowongan. Pada segmen Lahat–Tebing Tinggi, ZSS memutuskan membangun terowongan serta membangun stasiun-stasiun untuk mendukung operasi kereta api tersebut.

Willem Synja Tunnel atau Terowongan Gunung Gajah


Terowongan pertama dibangun di daerah Gunung Gajah Lahat. Terowongan ini diperkirakan selesai pada tahun 1928–1929. Dengan kendala-kendala semacam itu, maka pembangunan jalur kereta api ini menjadi lama.

Ada beberapa catatan yang cukup menarik mengenai terowongan ini. Diyakini, nama asli terowongan ini adalah Willem Synja Tunnel, Willem yang diyakini merupakan arsitek terowongan tersebut. Kemudian terowongan ini terkenal dengan nama Terowongan Gunung Gajah seperti tulisan yang tertera di depan terowongan. Penamaan Terowongan Gunung Gajah  berdasarkan lokasi terowongan yang berada di Kelurahan Gunung Gajah. Panjang terowongan Gunung Gajah sekitar 365 meter dan menjadikan terowongan ini terpanjang ke-10 se Indonesia. Terowongan ini masih berfungsi dengan baik hingga kini dan menjadi salah satu ikon heritage di Kota Lahat. (Lahat,Mario Andramartik,26/07/2021)

0 komentar:

Posting Komentar