Bukit Serelo di tahun 1920an
Sistem pemerintahan di
Kabupaten Lahat sudah berjalan secara terstruktur dan berjalan dengan baik
sebelum terbentuknya pemerintahan yang saat ini disebut dengan Pemerintah
Daerah Kabupaten Lahat yang dipimpin oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati. Kabupaten Lahat dibentuk atas
dasar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959
tentang Pembentukan Daerah TK II dan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1821) kemudian
tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat sesuai dengan Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988.
Pada awalnya Kabupaten Lahat bernama Afdeeling Palembangsche
Bovenladen atau Palembang Dataran Tinggi yang dibentuk Pemerintah Hindia
Belanda pada tanggal 20 Mei 1869 setelah Hindia Belanda menaklukan kawasan
Pasemah pada tahun 1866. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda menguasai
Kesultanan Palembang pada tanggal 1 Juli 1821 selanjutnya melakukan eksvansi ke
daerah uluan hingga kawasan Pasemah. Hindia Belanda membutuhkan waktu sekitar
48 tahun untuk menguasai Pasemah setelah berhasil menaklukkan Palembang.
Jauh sebelum adanya pemerintahan yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda
di Palembang Dataran Tinggi yang kemudian menjadi Kabupaten Lahat, telah
terbentuk sistem pemerintahan marga. Marga merupakan komunitas asli atau yang
disebut masyarakat adat yang berfungsi selfgoverning community, yakni komunitas
sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga
sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena
sudah melakukan segala sesuatunya sendiri. Dalam pemerintahan marga aturan-aturan
yang dipakai mengacu pada Undang-Undang Simbur Cahaya. Pemerintahan marga dalam
Undang-Undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun. Masing-masing unit
sosial ini dipimpin oleh seorang pasirah, kerio, dan penggawa. Pembarap ialah
kepala dusun (kerio) di mana seorang pasirah tinggal. Seorang pembarap
mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang pasirah apabila pasirah
berhalangan hadir dalam suatu acara atau kegiatan. Pasirah dan kerio dibantu
oleh penghulu dan ketib dalam penanganan urusan keagamaan. Kemit marga dan
kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan
urusan keamanan. Dalam
Inlandsche Gementee Ordonantie Buitengwesten (IGOB) tahun 1938 No. 490.34
dinyatakan bahwa masing-masing marga yang membawahi beberapa dusun dikepalai
oleh seorang pesirah dengan gelar depati atau ngabehi. Setiap dusun dikepalai
oleh seorang kerio, sedangkan dusun di ibukota marga dikepalai oleh pembarap.
Semua pejabat formal ini dipilih oleh penduduk yang mempunyai hak memilih untuk
waktu yang tidak ditentukan. Para pesirah (depati/ngabehi) yang telah
menjalankan selama 15 tahun biasanya diberhentikan dengan hormat oleh residen
dengan diberi gelar pangeran.
Masyarakat Desa Gunung Megang Jarai tahun 1931
Sistem
pemerintahan Marga yang telah berlangsung sebelum masuknya Pemerintah Hindia
Belanda terus berlanjut di masa Pemerintah Hindia Belanda hingga pasca
kememerdekaan. Ketika Indonesia berdiri pada tahun 1945 sistem marga masih
tetap diterapkan dan terdapat di dalam Undang-Undang 1945 Pasal 18, Romawi II dijelaskan sebagai berikut:
“dalam teritori Negara Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250
Zelbestuurende Lanschappen dan Volkgemenschappen, seperti desa di Jawa dan
Bali. Penamaan nagari di Minangkabau, marga, dan dusun di Palembang, dan
sebagainya. Akan tetapi pada masa Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa menyebabkan termarjinalnya fungsi marga. Bahkan
dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983
tentang Penghapusan Sistem Marga di Sumatera Selatan.
Dalam Surat Keputusan
yang diterbitkan pada tanggal 24 Maret 1983 tersebut menyatakan, pertama
pembubaran sistem marga di Sumatera Selatan. Kedua, pasirah (pemimpin marga) dan
semua instrumen marga dipecat dengan hormat. Ketiga, dusun, di dalam sebuah
marga, diganti dengan desa sesuai dengan definisi yang ada pada Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979. Keempat, kerio sebagai kepala dusun, akan menjadi kepala
desa yang akan ditunjuk melalui pemilihan kepala desa sesuai dengan UU Nomor 5
tahun 1979. Implikasi undang-undang dan surat keputusan tersebut adalah
rusaknya lembaga-lembaga tradisional dan adat bahkan marga sebagai sistem
pemerintahan pun dihapuskan. Menurut catatan yang dibuat pada tahun 1879 dan
1932 seluruh marga yang ada di Sumatera Selatan (pada waktu itu disebut
Karesidenan Palembang) berjumlah 174 marga. Tahun 1940, menjelang masa
kemerdekaan jumlah itu menjadi 175 marga. Pada masa kemerdekaan di awal masa
Orde Baru, tahun 1968, berjumlah 181 marga. Pada tahun 1983 ketika marga-marga
dibubarkan jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.
Untuk marga-marga di Lematang
Ulu-Lahat terdapat 15 marga yaitu : 1) Bungamas, 2) Empat Lurah Manggul di
Manggul, 3) Endikat, 4) Gumai Ulu, 5) Gumai-Lembak di Lubuk Sepang, 6) Lawang
Kulon, 7) Puntang Merapi di Merapi, 8) Pagar Gunung di Karang Agung, 9) Penjalang
Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU) di Sukajadi, 10) Penjalang Suku
Lingsing di Pagar Jati, 11) Penjalang Suku Pangi di Nanjungan, 12) Penjalang
Suku Empayang Ilir di Gunung Kerto, 13) S.Dal.S.Lingsing, 14) Tembelang Gedung Agung
di Gedung Agung, 15) Empat Suku Negeri Agung di Ulak Pandan dan di Tanah Pasemah-Pagar Alam terdapat 10
marga yaitu : 1) Mulak Ulu di Muara Tiga, 2) Penjalang Suku Tanjung Kurung di
Tanjung Kurung, 3) Sumbai Besak Suku Kebun Jati di Kebun Jati, 4) Sumbay Ulu
Lurah Suku Pajar Bulan di Pajar Bulan, 5) Sumbai Besak Suku Alun Dua di Alun
Dua, 6) Sumbai Mangku Anum Suku Muara Siban di Bumi Agung, 7) Semidang Suku Pelang
Kenidai di Pelang Kenidai, 8) Sumbai Besak Suku Lubuk Buntak di Lubuk Buntak,
9) Sumbai Mangku Anum Suku Penantian di Penantian, 10) Sumbai Tanjung Raya Suku
Muara Payang di Talang Tinggi.
Ada 2 marga dari
Pasemah ketika pembentukan karesidenan oleh Pemerintah Hindia Belanda masuk ke
Afdeeling Manna Karesidenan Bengkulu yaitu Marga PUMI dan Marga PUMU yang saat
ini menjadi Kecamatan Tanjung Sakti PUMI dan Kecamatan Tanjung Sakti PUMU. Kata
PUMI dan PUMU mempunyai arti PUMI (Pasemah Ulu Manna Ilir) dan PUMU (Pasemah
Ulu Manna Ulu) akan tetapi juga ada yang mengartikan kata Manna menjadi Muara
maka menjadi Pasemah Ulu Muara Ilir dan
Pasemah Ulu Muara Ilir.
Dari 27 marga yang
berada di Lematang Ulu-Lahat, Tanah Pasemah-Pagar Alam dan Manna-Bengkulu tersebut
yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Lahat ada 23 marga, yaitu : 1) Bungamas, 2) Empat Lurah Manggul, 3)
Endikat, 4) Gumai Ulu, 5) Gumai-Lembak, 6) Lawang Kulon, 7) Puntang Merapi, 8)
Pagar Gunung, 9) Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU) 10)
Penjalang Suku Lingsing, 11) Penjalang Suku Pangi, 12) Penjalang Suku Empayang
Ilir, 13) S.Dal.S.Lingsing, 14) Tembelang Gedung Agung, 15) Empat Suku Negeri
Agung, 16) Mulak Ulu, 17) Penjalang Suku Tanjung Kurung, 18) Sumbai Besak Suku
Kebun Jati, 19) Sumbay Ulu Lurah Suku Pajar Bulan, 20) Sumbai Mangku Anum Suku
Penantian, 21) Sumbai Tanjung Raya Suku Muara Payang, 22) PUMI dan 23) PUMU.
Seorang penari dengan pakai adat Pasemah
Dari 24 kecamatan
tersebut yang masih memakai nama marga yaitu : 1) PSEKSU, 2) Merapi, 3) Gumay
Ulu, 4) Pagar Gunung, 5) Mulak Ulu, 6) Pajar Bulan, 7) Muara Payang, 8) Tanjung
Sakti PUMI, 9) Tanjung Sakti PUMU, maka ada baiknya bila nama kecamatan
mengambil dari nama marga karena marga berasal dari serikat dusun baik atas
dasar susunan masyarakat yang berdasarkan suatu teritorial tertentu maupun
rumpun keluarga (genealogis). Marga merupakan susunan masyarakat yang
berdasarkan adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Marga hidup
menurut adat yang berlaku sejak marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang
lampau. Adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat, dan pemerintahnya. Selain
itu, masyarakat juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat yang sejak awalnya
telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya.
Semoga ke depan penamaan
nama kecamatan di Kabupaten Lahat dapat mengambil nama marga misalnya Kecamatan
Kikim Timur menjadi Kecamatan Bungamas, Kecamatan Gumay Talang menjadi Kecamatan
Endikat, Kecamatan Merapi Timur menjadi Kecamatan Tembelang Gedung Agung,
Kecamatan Pulau Pinang menjadi Kecamatan Gumay Lembak, Kecamatan Kota Agung
menjadi Kecamatan Kebun Jati dan Kecamatan Tanjung Tebat menjadi Kecamatan
Tanjung Kurung. Dengan demikian nama kecamatan tidak pernah lepas dari
masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta wilayah tersebut. (Mario
Andramatik, Juli 2023).
Pak maryo, luarbiasa mempunyai wawasan rancangan, dan gagasan mari kita dukung bersama baik dari kalangan intelektual, yudikatif, legislatif, sehingga bisa duduk bersama dan satu suara, karena suatu aturan, baik UU tetap bisa dirobah kecuali kitab suci.👍
BalasHapusSmoga gagasan utk tetap mempertahankan nama marga dapat diakomodir oleh pihak-pihak terkait baik eksekutif maupun legislatif agar kekayaan budaya daerah tetap lestari
HapusTerus semangat pak untuk menyebarkan informasi dan melestarikan kebudayaan khususnya di daerah pasemah
BalasHapusInsyaAllah kami diberi kesehatan dan kesempatan utk menjelajah, mendokumentasikan dan mempublikasikan informasi yang terkait kekayaan alam dan budaya Pasemah yang adiluhur inj
Hapus